Jakarta, Properti Indonesia - Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) di bawah kepemimpinan Menteri Maruarar Sirait telah melewati 100 hari masa kerja. Namun, sejumlah asosiasi pengembang perumahan merasa belum ada gebrakan signifikan untuk mendorong pembangunan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Di sisi lain, para pelaku usaha di industri ini juga mengeluhkan adanya "kegaduhan" dan stigma negatif yang dilontarkan kepada mereka.
Unek-unek ini disampaikan oleh sejumlah asosiasi pengembang perumahan, seperti Aliansi Pengembang Perumahan Nasional (Appernas) Jaya, Realestat Indonesia (REI), Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (APERSI) serta Asosiasi Pengembang dan Pemasaran Perumahan Nasional (Asprumnas), dalam diskusi media bertajuk “Menyelisik Kinerja 100 Hari Kementerian PKP” yang digelar Forum Wartawan Perumahan Rakyat (Forwapera) di Jakarta, Kamis (27/2).
Ketua Umum DPP Aliansi Pengembang Perumahan Nasional (Appernas) Jaya, Andriliwan Muhammad menegaskan kelima asosiasi pengembang perumahan dengan anggota sekitar 14 ribu perusahaan properti yang selama ini menjadi tulang punggung pembangunan rumah bagi MBR dengan menyuplai sekitar 90% rumah bersubsidi di Indonesia merasa tidak happy terhadap kebijakan gaduh yang dilakukan Kementerian PKP.
"Setelah 10 tahun mendorong adanya Kementerian Perumahan, dengan harapan sektor perumahan untuk MBR bergerak lebih cepat untuk mengatasi backlog, justru sebaliknya kementerian justru sibuk dengan urusan yang tidak substansial. Kalau ditanya, ya pengembang tidak happy," tegas Andre.
Menurutnya, dengan banyaknya isu “liar” yang dikeluarkan kementerian, pengembang juga merasa rugi terutama karena menurunnya minat MBR untuk membeli rumah. Salah satunya dengan pernyataan adanya bantuan rumah gratis dan pengembang nakal. Oleh karena itu, dia meminta pemerintah tidak lagi mengeluarkan pernyataan yang dapat merugikan pengembang.
Hal senada juga disampaikan Ketua Umum DPP REI, Joko Suranto. Dirinya mengkritik Kementerian PKP yang dinilai lebih fokus pada hal-hal negatif dan mengabaikan kontribusi positif pengembang. Dirinya juga mempertanyakan motif kementerian dalam mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang merugikan pengembang.
“Kami ini pengembang yang berhimpun di asosiasi sudah puluhan tahun terbentuk dan membuktikan diri menjadi mitra setia pemerintah selama bertahun-tahun menyediakan rumah MBR. Kami bukan tipikal pengusaha yang hit and run, sehingga bersedia membentuk dan bergabung di asosiasi,” katanya.
Namun, sebut Joko, kementerian baru malah memilih membuat kebijakan yang tidak friendly, bahkan tega melakukan persekusi terhadap pengembang rumah subsidi yang mayoritas adalah UMKM.
"Kami ini sudah membantu pemerintah dalam menyediakan rumah bagi MBR. Tetapi yang bagus-bagus tidak disampaikan, namun yang jelek terus diangkat. Kami tidak tahu apa motifnya, apakah sekadar mencari popularitas, atau ada motif lain?" tanya Joko.
Dirinya menambahkan, industri properti termasuk perumahan merupakan salah satu cara paling mudah bagi pemerintah untuk mengungkit pertumbuhan ekonomi menjadi 8% seperti yang ditargetkan. Selain itu, salah satu indikator kesejahteraan rakyat adalah rumah yang layak. Dimana pengembang adalah pelaku yang mampu meng-drive dan menyediakan rumah hingga tolak ukur kesejahteraan bisa dicapai.
“Tanggal 16 Agustus nanti, Presiden Prabowo Subianto nanti akan membacakan pidato kenegaraan di depan Sidang Tahunan MPR RI. Rakyat tentu ingin mendengar dari kepala negara apa saja yang sudah dilakukan dalam merealisasikan program perumahan sebagai bagian dari misi Asta Cita,” tegasnya.
Asosiasi pengembang lainnya juga menyampaikan kekecewaan serupa. Mereka menilai, kebijakan Kementerian PKP saat ini tidak kondusif bagi pencapaian target program 3 juta rumah yang dicanangkan Presiden Prabowo Subianto.
Ketua Umum DPP Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (APERSI) Junaidi Abdillah mengaku pesimis dengan program pembangunan 3 juta rumah yang ditargetkan Presiden Prabowo Subianto jika cara kerja Menteri PKP masih seperti sekarang.
“Banyak hal receh diurusin, tidak visioner. Sektor perumahan memerlukan regulasi yang berpihak kepada masyarakat dan semua ekosistem perumahan. Seharusnya jauhi kegaduhan, kami ini semua mendukung program 3 juta rumah dari Presiden Prabowo kok,” tegasnya.
Menurut Junaidi, kementerian termasuk menterinya seharusnya membimbing pengembang, bukan malah memperlemah dengan adu domba. 100 hari Kementerian PKP, Apersi sebagai bagian dari eksoistem perumahan juga merasa tidak happy. “Tapi kalau menterinya baru, mungkin bisa jadi happy,” harapnya.
Sementara itu, Ketua Umum DPP Asosiasi Pengembang dan Pemasaran Perumahan Nasional (Asprumnas) M. Syawali Priatna juga sependapat dengan asosiasi lainnya. Pengembang asosiasi tersebut juga tidak nyaman dengan kondisi saat ini terutama cara kerja Menteri PKP.
“Kami berharap ada perubahan dari situasi saat ini. Harapan kami, siapa pun menterinya, baik yang sekarang atau siapa pun nanti agar bisa mengeluarkan kebijakan yang mendorong bergeraknya program 3 juta rumah termasuk berjalannya FLPP,” katanya.
Syawali menambahkan, program 3 juta rumah adalah misi mulia, terutama untuk MBR dan masyarakat miskin. Menurutnya, program ini membutuhkan kerjasama yang solid antar ekosistem perumahan, termasuk pengembang swasta yang sudah berkontribusi besar kepada Pembangunan rumah MBR juga perlu dilindungi.
Menanggapi keluhan tersebut, Wakil Menteri PKP, Fahri Hamzah, menegaskan bahwa pemerintah sangat mengapresiasi peran swasta, terutama para asosiasi pengembang, dalam program 3 juta rumah. Ia mengakui, kapasitas asosiasi pengembang jauh lebih besar daripada pemerintah dalam membangun rumah.
"Pemerintah itu berperan sebagai regulator. Jika pemerintah mengambil peran sebagai pengembang, maka akan muncul banyak kendala," ungkap Fahri.
Fahri juga menegaskan, pemerintah akan terus menjaga hubungan baik dengan pengembang dan berupaya menciptakan kebijakan yang kondusif bagi pembangunan perumahan MBR.
"Tugas pemerintah itu bikin kebijakan, dan membimbing aparatnya dan ekosistem yang ada. Itu saja yang kita jaga, anggaran tidak masalah karena pemerintah enggak perlu belanja (untuk pembangunan rumah)," ungkapnya.
Diskusi media ini juga menghadirkan sejumlah narasumber lain, seperti Satuan Tugas (Satgas) Perumahan, Bonny Z. Minang, Pengamat Kebijakan Perumahan, Muhammad Joni, dan Kepala Badan Bank Tanah, Parman Nataatmadja. Mereka sepakat bahwa program 3 juta rumah membutuhkan sinergi dan kolaborasi yang kuat antara pemerintah, pengembang, dan seluruh pemangku kepentingan di sektor perumahan.
Muhammad Joni, misalnya. Dirinya menilai perumahan tidak hanya soal fisik bangunan tetapi merupakan amanat konstitusi dan cita-cita kemerdekaan. Untuk itu, perumahan harus menjadi pilar negara yang kuat sehingga kita bersama harus mendukung program tiga juta rumah.
“Kementerian PKP harus bekerja keras agar program 3 juta rumah bisa berjalan dan tercapai. Saat ini ada kegamangan dalam menentukan arah kebijakan, sehingga arah kebijakan belum ada,” ujarnya.
Menurutnya, pelaku pembangunan maupun bank tanah harus diperkuat dalam ekosistem perumahan karena menjadi bagian penting dalam program 3 juta rumah. Dan diperlukan rencana induk bank tanah. Saat ini, tambahnya, rintangan urusan perumahan rakyat masih banyak. Menteri PKP harus bisa membuat regulasi yang selama ini menjadi penghambat bisa menjadi pendorong.
Kepala Badan Bank Tanah, Parman Nataatmadja mengatakan, Badan Bank Tanah saat ini memiliki total persediaan tanah seluas 33.115,6 Ha per akhir 2024, di mana sebagian dari total persediaan tanah tersebut dapat dimanfaatkan untuk mendukung program 3 juta rumah.
“Saat ini kami sudah memiliki portofolio pemanfaatan tanah untuk pembangunan perumahan MBR di Kendal dan Brebes, Jawa Tengah. Wilayah ini akan terus bertambah seiring komitmen kuat kami dalam menciptakan ekonomi berkeadilan serta mendukung program pemerintah,” sebutnya