Jakarta, Properti Indonesia - Backlog kepemilikan rumah atau belum terpenuhinya jumlah perumahan di Indonesia saat ini mencapai 12,7 juta. Jumlah ini sulit untuk turun karena terus meningkatnya kebutuhan rumah dan pertambahan penduduk di tengah keterbatasan lahan serta mahalnya suku bunga kredit kepemilikan rumah.
Terdapat beberapa wilayah di Indonesia yang tercatat dengan backlog tertinggi. Direktur Consumer and Commercial Lending Bank BTN, Hirwandi Gafar mengatakan bahwa berdasarkan data Survei Ekonomi Nasional atau Susenas 2020, backlog perumahan didominasi oleh Jawa Barat, Jawa Timur, Jakarta dan Sumatera Utara.
"Sebaran daripada backlog perumahan itu sendiri secara seluruh Indonesia itu memang didominasi oleh Jawa Barat, Jawa Timur, dan kemudian di Jakarta dan Sumatera Utara. Itu lebih dari 1 juta backlog perumahan berdasarkan sensus yang ada," ujar Hirwandi dalam Property Outlook 2024, dilansir dari laman Detik, Rabu (28/2).
Adapun rincian jumlah backlog tertinggi di masing-masing wilayah, di antaranya Jawa Barat 2.816.407, DKI Jakarta 1.498.949, Jawa Timur 1.267.183, dan Sumatera Utara 1.025.079. Untuk di perkotaan jumlah backlognya mencapai 10 juta sementara di pedesaan sebesar 2,7 juta.
Pemerintah menargetkan backlog di Indonesia menjadi 8 juta pada 2045. Sementara angka backlog ini tidak berubah dalam 10 tahun terakhir, jika dibandingkan pada 2010 hanya turun tipis tercatat sebesar 13,5 juta unit.
Namun, pemerintah juga telah memiliki beberap upaya untuk mengurangi angka backlog. Direktur Jenderal Pembiayaan Infrastruktur Pekerjaan Umum dan Perumahan Kementerian PUPR Herry Trisaputra Zuna mengungkapkan beberapa upaya tersebut bisa dilakukan dari sisi suplai dan sisi demand atau permintaan.
"Beberapa upaya yang sedang dan akan dilakukan dari sisi suplai antara lain pelembagaan rumah hijau untuk menjawab pendanaan terbatas atas penyediaan rumah yang terjangkau dan berwawasan lingkungan, pelembagaan kerja sama pemerintah dan badan usaha atau KPBU rumah susun terutama yang dekat dengan pusat kegiatan atau Transit Oriented Development (TOD)," jelas Herry.
Dari sisi demand yaitu reformasi subsidi yang tepat sasaran dan efisien, perluasan peningkatan intensitas pembiayaan hijau perumahan bagi MBR melalui Indonesia Green Affordable Housing Program (IGAHP), dana abadi perumahan, skema sewa beli, KPR bertahap atau staircasing ownership, KPR bertenor panjang hingga 35 tahun, perluasan penyediaan hunian yang terjangkau melalui ekosistem rumah sewa dengan memanfaatkan pelaku pasar, serta perluasan KPR FLPP dan KPR Tapera (tabungan perumahan rakyat) yang dikelola oleh BP Tapera.
Sementara itu, pemerintah juga telah mengalokasikan dana bantuan pembiayaan Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) sebesar Rp13,72 triliun pada tahun ini, atau untuk 166.000 unit rumah. Kemudian mengalokaskan dana Rp0,68 triliun untuk 166.000 unit Subsidi Bantuan Uang Muka (SBUM), dan dana peserta tabungan perumahan rakyat untuk Pembiayaan Tapera sebesar Rp0,83 triliun untuk 7.251 unit rumah.
Pada tahun 2023 lalu Pemerintah telah menyalurkan Rp26,3 triliun dana FLPP untuk 229.000 unit rumah, Rp895 miliar untuk penyaluran 220.000 unit SBUM, Rp52 miliar untuk pembayaran 13.993 unit Bantuan Biaya Administrasi, dan Rp1,09 triliun dana peserta Tapera untuk penyaluran 7.020 unit pembiayaan Tapera.