Jakarta, Properti Indonesia - Tiongkok diketahui sedang gencar untuk merelokasi pabriknya ke sejumlah negara Asean, tak terkecuali Indonesia. Hal ini dikarenakan beberapa faktor yang berkaitan dengan persaingan perdagangan global, perang dagang, dan kebijakan ekonomi internasional mengenai tarif impor dan hambatan perdagangan.
Colliers Indonesia dalam laporannya bertajuk Industrial Services Forecast Report Q2-2024 menyebutkan, salah satu alasan Tiongkok memindahkan produksinya, adalah untuk menghindari tarif impor yang dikenakan oleh negara lain, khususnya Amerika Serikat (AS), sebagai bagian dari perang dagang.
Jika AS menaikkan tarif atas barang yang diproduksi di Tiongkok, maka perusahaan Tiongkok dapat merelokasi produksinya ke negara-negara dengan tarif yang lebih rendah atau tanpa tarif. Relokasi pabrik ke negara-negara seperti Indonesia memungkinkan perusahaan Tiongkok untuk mendiversifikasi rantai pasokan mereka dan mengurangi ketergantungan pada satu lokasi produksi.
Langkah ini, menurut Colliers juga membantu Tiongkok untuk mengurangi risiko yang terkait dengan kebijakan perdagangan yang tidak pasti dan tarif yang berfluktuasi.
Karena itu, untuk mengurangi dampak tarif yang lebih tinggi, perusahaan Tiongkok memilih untuk mengalihkan produksi ke negara-negara yang tidak dikenakan tarif yang sama atau negara-negara dengan perjanjian perdagangan yang lebih menguntungkan.
Selain menghindari tarif, negara-negara seperti Indonesia dapat menawarkan biaya produksi yang lebih rendah atau insentif investasi untuk menarik investor asing. Hal ini menjadikan relokasi pabrik sebagai pilihan yang layak secara ekonomi bagi perusahaan-perusahaan Tiongkok.
Pencapaian Lahan Industri Kuartal II 2024
Seperti diketahui, pada kuartal II 2024, terjadi transaksi besar di kawasan industri Subang Smartpolitan di Kabupaten Subang, yang melibatkan lahan seluas 108 hektar oleh BYD, produsen kendaraan listrik terkemuka asal Tiongkok.
BYD berencana mengembangkan ekosistem kendaraan listrik (EV) yang komprehensif, termasuk pusat penelitian dan pengembangan serta fasilitas pelatihan yang dilengkapi dengan teknologi hemat energi dan ramah lingkungan terkini.
Dengan perluasan kawasan industri di Jabodetabek hingga mencakup Subang, total transaksi yang tercatat pada Q2 mencapai 176 hektar, tertinggi sejak Q2 2012 yang mencatat 180,21 hektar. Bila digabungkan dengan transaksi dari Q1, total transaksi lahan untuk paruh pertama tahun 2024 mencapai 220,16 hektar, atau melampaui total penjualan untuk keseluruhan tahun 2023.
Selain transaksi BYD, Subang Smartpolitan melaporkan transaksi tambahan seluas 10 hektar dari perusahaan suku cadang mobil Tiongkok, sehingga total transaksinya untuk Q2 menjadi 118 hektar. Volume transaksi ini sulit ditandingi oleh kawasan industri lain seperti GIIC, yang biasanya memimpin dalam penjualan lahan. Selama kuartal II 2024, GIIC hanya menjual tiga bidang tanah industri dengan total 15,6 hektar kepada perusahaan pusat data.